reisumut.com - Medan
Di Provinsi Sumatera Utara, keberpihakan terhadap
perumahan murah masih menjadi fokus. Singkatnya, menurut Ketua DPD Real Estate
Indonesia (REI) Sumut Umar Husin, pengembang di Sumut tak akan meninggalkan
rumah murah.
"Setidaknya ini terbukti dari laporan
pengembang oleh Kemenpera, tidak ada satu pun pengembang Sumut yang melanggar
prinsip hunian berimbang. Di Sumut, kita concern di rumah murah," kata
Umar Husin menjawab MedanBisnis, Kamis (26/6).
Dari target 5.000 unit rumah murah di Sumut tahun
2014, ungkap Umar Husin, sekitar 3.000 unit di antaranya sudah terealisasi. Dan
di sisa enam bulan lagi tahun ini, pihaknya optimis 2.000 unit lagi
terealisasi.
Umar Husin mengatakan, 60% pengembang yang ada di
Sumut, masih eksis bermain di sektor rumah murah. Selebihnya di segmen menengah
ke atas. "Dan perjuangan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%
adalah antara lain sumbangsih kita dari Sumut juga," ujarnya.
Soal hunian berimbang tersebut, menurutnya, para
pengembang secara prinsip siap melakukannya. Pembangunan rumah murah adalah
bagian tak terpisahkan bagi kiprah pengembang di REI menyusul masih banyaknya
masyarakat kecil yang belum memiliki rumah murah.
Namun pada praktiknya di lapangan, pembangunannya
terkendala dari sisi mahalnya harga tanah, kurangnya dukungan infrastruktur dan
kesulitan perizinan dan birokrasi, harga material dan upah, termasuk belum
semuanya kota/kabupaten memiliki peraturan tata ruang.
Begitupun, pengembang mau tak mau menghadapi
kendala-kendala tersebut. Konsekuensinya adalah biaya tinggi. Dalam konteks
bisnis, biaya tinggi tentu tidak akan sepenuhnya ditanggung pengembang. Itulah
makanya hunian berimbang tidak bisa efektif dijalankan.
"Pemerintah daerah sesuai aturan itu, adalah
yang bertanggung jawab menyediakan rumah murah, dan pengembang dari sisi
pembangunannya. Kalau bicara tanggung jawab, berarti seharusnya ada dukungan
nyata Pemda meminimalisir kendala-kendala itu," sebutnya.
Dari data kementerian, ungkapnya, masih sekitar
23.000 unit yang terealisasi dari target 60.000 rumah murah nasional tahun ini
hingga Juni. Artinya, kendala-kendala yang ada, sangat memengaruhi capaian
target itu.
Untuk itulah, lanjutnya, pengembang harus
membicarakan lagi implementasi UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman dan UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang mewajibkan
pengembang membangun rumah dengan komposisi 3:2:1 itu.
Artinya, pendapat bahwa gap (jurang) pemisah antara
masyarakat berpenghasilan rendah dan orang kaya semakin mengemuka karena
diciptakan para pengembang, menurut Umar Husin, bukanlah demikian.
Kebijakan Menpera Djan Faridz yang melaporkan 60
pengembang perumahan ke kepolisian atas dugaan pelanggaran aturan pembangunan
hunian berimbang itu, menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hukum dan
Perundang-undangan DPP REI Ignesjz Kemalawarta, Menpera harusnya bersedia
berdialog dengan pengembang. "Ini dalam rangka mencari solusi atas kasus
laporan Menteri Perumahan Rakyat yang menilai pengembang tak patuh,"
ujarnya.
Dialog juga bertujuan untuk memperjelas metode yang
dipakai oleh kementerian dalam menentukan kriteria pengembang nakal. Menurut
Ignesjz Kemalawarta, ada beberapa gagasan yang diusulkan pengembang yang tidak
diakomodasi oleh kementerian manakala menerbitkan aturan hunian berimbang.
"Misalnya soal standar harga rumah untuk
masyarakat berpenghasilan rendah yang idealnya dihitung berdasarkan luas tanah
dan tipe sehingga harganya tetap," ujarnya. Aturan menteri yang sekarang,
lanjutnya, berpotensi besar membuat pengembang rugi karena harga rumah jadi
tidak menentu. (benny pasaribu/mb)