reisumut.com - Jakarta
Indonesia Property Watch (IPW) menyatakan bahwa perumahan rakyat seperti dianggap anak tiri. Pasalnya, pemerintah seakan-akan menutup mata dengan kegagalan demi kegagalan kebijakan perumahan rakyat selama ini.
Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghada menuturkan, semakin lama permasalahan rumah murah semakin menjadi benang kusut. Backlog perumahan bertambah tinggi namun tidak ada terobosan yang menjadikan perumahan nasional sebagai agenda nasional yang harus diperhatikan.
"Bayangkan dengan kondisi seperti saat ini dengan asumsi penambahan backlog 700 ribu unit per tahun, maka dengan kenaikan harga tanah yang melejit berlipat-lipat setahun akan mengakibatkan peningkatan backlog menjadi 2 kali lipat setiap tahunnya," kata Ali dalam risetnya belum lama ini.
Karenanya Indonesia Property Watch menilai saat ini backlog perumahan bukan lagi sebesar 15 juta unit melainkan 21,7 juta unit. Tanpa harus berdebat mengenai besaran yang ada, namun kenyataannya pemerintah tidak tanggap terhadap permasalahan perumahan nasional yang akan semakin berbahaya ke depan.
Menurut Ali, perumahan masih diibaratkan anak tiri yang belum mendapatkan perhatian penuh. Pagu anggaran Kemenpera tahun 2014 hanya Rp 4,56 triliun atau lebih kurang 2,5% terhadap APBN.
"Nilai ini masih sangat kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan perumahan yang ada. Besarnya nilai tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah tidak paham dan tidak serius untuk dapat membuat sistem perumahan nasional yang baik yang saat ini berjalan seadanya tanpa arah," tuturnya.
Namun demikian, lanjut dia, anggaran yang ada pun tidak dibarengi dengan kebijakan dan strategi perumahan nasional yang baik. Tidak ada kebijakan pemerintah yang dapat mengendalikan harga tanah rumah murah bahkan program subsidi FLPP dinyatakan gagal total dengan hanya terserap Rp 4,6 triliun dari total anggaran Rp 7 triliun tahun 2013.
Kebijakan 1000 menara rusunami sudah mati suri sejak tahun 2010 dan dibiarkan mengambang tanpa ada perbaikan kebijakan. Kenaikan harga yang diusulkan pemerintah boleh-boleh saja dilaksanakan, namun itu semua tidak akan menyelesaikan masalah. Karena permasalahannya adalah bagaimana pemerintah bisa mengendalikan harga tanah. Pemerintah harus tanggap untuk segera membentuk bank tanah.
Beberapa tahun lalu Kemenpera telah melakukan MoU dengan beberapa Pemda untuk bekerja sama menyiapkan bank tanah. Namun menurut Ali, itu semua hanya wacana tanpa akhir tanpa realisasi. Kenyataannya masing-masing Pemda mempunyai otonomi masing-masing dan tidak ada keharusan yang mengikat.
"Biaya perijinan yang seharusnya dapat dibebaskan pun ternyata tidak terjadi di lapangan. Belum lagi biaya PLN dan lain-lain. Pemerintah seakan-akan menyamaratakan rumah murah dengan rumah komersial yang harganya tinggi. Belum lagi kalau kita melihat unit-unit rumah susun peninggalan program 1000 tower menjadi salah sasaran. Kemenpera saat ini menjadi tidak efektif," paparnya. (Rzl/gn)