Medan, 08/04/2014 Para pengembang
minta agar pemerintah segera menaikan harga rumah untuk Masyarakat
Berpenghasilan Rendah (MBR). Hal ini dikarenakan beberapa material dan harga
lahan yang terus mengalami kenaikan, untuk itu khususnya untuk Rumah Subsidi
Pemerintah (RSP) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pemerintah di
desak pengembang untuk menaikan harga rumah RSP dari semula harga Rp. 88 juta
menjadi Rp. 105 juta. Sebenarnya harga kenaikan itu cukup realistis mengingat
tren kenaikan harga material saat ini dan harga lahan yang semangkin mahal,”
kata Tomi Wistan, pengembang yang juga Wakil Sekretaris DPP REI.
Menurut Tomi, usulan kenaikan
harga rumah tersebut, sudah lama diusulkan. Perkembangan saat ini, pemerintah ,
khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum menyetujuinya. Akibat belum adanya ketetapan kenaikan harga
rumah RSP tersebut, katanya, maka penjualan rumah RSP bergeser dari tadinya
lewat Fasilitas Likuditas Pembiyaan Pemerintah (FLPP) ke non RSP atau menjadi
komersil, “sebab kalau bertahan di harga
Rp. 88 juta, pengembang sangat sulit. Umumnya pengembang tidak mau mengambil
risiko rugi, harga jualnya dinaikkan hingga Rp. 90 juta bahkan menjadi Rp. 105
juta dan tidak lagi termasuk dalam FLPP,” katanya.
Dengan pemberlakuan harga jual di
atas Rp. 88 juta, meskipun belum diputuskan pemerintah, otomatis
membuat target penyediaan rumah RSP terganggu,” ya karena itu tadi, karena rumah RSP beralih kerumah murah komersial,” katanya. Jika terganggu penyediaan rumah RSP, otomatis masyarakat yang berpenghasilan rendah akan semakin kesulitan membeli rumah RSP. Sementara kalau bertahan menyediakan rumah komersial, tidak terjamin juga pasarnya bagus, sebab masih banyak masyarakat yang tidak mampu memilikinya.
membuat target penyediaan rumah RSP terganggu,” ya karena itu tadi, karena rumah RSP beralih kerumah murah komersial,” katanya. Jika terganggu penyediaan rumah RSP, otomatis masyarakat yang berpenghasilan rendah akan semakin kesulitan membeli rumah RSP. Sementara kalau bertahan menyediakan rumah komersial, tidak terjamin juga pasarnya bagus, sebab masih banyak masyarakat yang tidak mampu memilikinya.
Dia mencontohkan untuk masyarakat
yang menggantungkan hidupnya dan bekerja di Kota Medan, otomatis akan membeli
rumah RSP jauh dari kota Medan. Ini artinya akan menimbulkan biaya tinggi bagi
masyarakat tersebut. “Artinya makin terjadi jurang
antara yang memiliki dan yang tidak memiliki rumah. Ini sebenarnya harus jadi
perhatian serius oleh pemerintah. Dalam hal ini sebenarnya, REI bukan mau buang
badan membuntu pemerintah dalam menyediakan rumah RSP,” ujar Tomi Wistan.
Dalam kaitan itu, katanya, harga rumah RSP Rp. 88 juta, juga mempengaruhi kemampuan pengembang untuk memenuhi backlog kebutuhan rumah MBR 400.000 unit hingga 500.000 unit di Sumatera Utara. Untuk itu, agar tetap terjadi keseimbangan persediaan rumah dan daya beli, maka menurut Tomi Wistan cara yang efektip adalah pemerintah menaikan harga rumah RSP menjadi Rp. 105 juta.
Di bagian lain, harga material
yang belum normal ditambah sulitnya lahan murah dan birokrasi yang kurang
mendukung, membuat pengembang wait and see. Bahkan tidak sedikit pula yang
mulai beralih untuk fokus menyediakan rumah non subsidi atau komersial. Dengan kondisi ini, tidak juga
menjadi pilihan bagi pengembang, pengembang biasanya lebih memiliki arus
perputaran modal yang lancar, dimana kesempatan itu dominan ada jika bermain di
rumah RSP (Sumber Sumut Pos ) by. Rizal